Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah mempersiapkan rencana pelabelan galon air minum bermerek. Sebagai wujud tanggung jawab negara dalam melindungi kesehatan masyarakat, rencana pelabelan ini bertujuan untuk melindungi konsumen dari risiko senyawa kimia berbahaya Bisfenol (BPA) pada galon air minum bermerek. Direktur Standarisasi Pangan Olahan BPOM, Aisyah, dalam sebuah acara bincang bincang di Metro TV, Jumat (11/8/2023), menjelaskan, "Rencana regulasi tersebut menunjukkan negara hadir dalam melindungi kesehatan masyarakat. Pelaku usaha pastinya memahami rencana pelabelan ini dan kami mengharapkan dukungan dari semua stakeholders (pemangku kepentingan)." Penting diketahui, BPA adalah salah satu bahan baku pembentuk polikarbonat, jenis plastik keras yang marak digunakan sebagai kemasan galon air minum bermerek di Indonesia.
Penggunaan jenis plastik yang menimbulkan risiko paparan BPA ini memunculkan kekhawatiran dari banyak pihak, sebab, riset di berbagai negara menunjukkan BPA pada plastik polikarbonat rawan luruh dan berisiko pada kesehatan bila sampai terminum melebihi ambang batas. Ahli polimer dari Universitas Indonesia, Muhammad Chalid, menjelaskan lebih lanjut mengenai bahaya dari paparan BPA. Menurutnya, memang ada risiko pelepasan BPA yang besar pada kemasan galon bermerek, utamanya bila produk tersebut masih didistribusikan dengan sembarangan termasuk dibiarkan terpapar sinar matahari langsung dalam waktu yang cukup lama. Selain paparan suhu, Chalid menekankan bahwa pelepasan BPA pada galon bermerek juga rawan akibat proses pencucian galon di pabrik, yang umumnya menggunakan sejenis deterjen yang dapat memicu peningkatan keasaman dan berimbas pada pelepasan BPA.
Di kesempatan yang sama, ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia, Pandu Riono, mengungkap BPA mendatangkan risiko yang ‘luar biasa’ bagi kesehatan manusia. "Bahkan sebelum jadi manusia sudah berisiko. Saat dalam kandungan, BPA berpotensi mengganggu pertumbuhan janin sehingga dalam perkembangannya akan menimbulkan banyak masalah kesehatan, termasuk autisme, Attention Deficit atau Hyperactivity Disorder (ADHD),” ujarnya. RAMALAN SHIO Besok Sabtu 16 Desember 2023: Shio Kambing Awas Boros, Shio Ayam Jangan Menyerah Halaman 4
Asma Nadia Umumkan Nasib Ikatan Cinta Sepeninggal Arya Saloka dan Amanda Manopo, Fan Minta Tamat Kalahkan Indigo dari Amanda Manopo, Film Cerita Rakyat Kalsel Saranjana Kota Ghaib di Posisi Teratas Aktivis HAM Belanda Minta Pemerintah Belanda Memblokir Ekspor Suku Cadang Pesawat F 35 ke Israel
Lebih lanjut, Pandu menekankan bahwa paparan BPA dalam jangka panjang dapat mengganggu sistem tubuh, termasuk gangguan organ reproduksi, penyakit endokrin, gangguan syaraf dan kanker. Apalagi menurutnya, semua jenis penyakit tak menular tersebut cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Dengan mempertimbangkan risiko kesehatan yang ada, Aisyah menyebut bahwa negara di berbagai belahan dunia telah mengadopsi pengaturan khusus terkait BPA. Contohnya, penetapan ambang batas migrasi, pelarangan total penggunaannya pada kemasan pangan, dan mewajibkan pelabelan untuk mengedukasi konsumen. Aisyah pun menggarisbawahi bahwa di terdapat tren pengetatan toleransi atas BPA pada kemasan pangan di level global. Misalnya, Uni Eropa kini menetapkan ambang batas migrasi BPA sebesar 0,06 ppm dari 0,6 ppm pada 2011. Lebih dari itu, otoritas keamanan pangan Eropa, EFSA bahkan merevisi batas asupan harian (Total Daily Intake) BPA, yang pada tahun 2015 awalnya yaitu sebesar 4 mikrogram/kilogram berat badan, menjadi 0,4 nanogram/kilogram berat badan pada April 2023.
"Ini berarti ada pengetatan 20.000 kali lebih rendah, toleransi asupannya jadi lebih ketat. Ini juga salah satu alasan BPOM mengkaji kembali regulasi yang ada terkait BPA," katanya. Sementara itu di Indonesia, BPOM sejak tahun 2019 telah menetapkan batas migrasi BPA pada kemasan pangan berbahan polikarbonat adalah 0,6 ppm. Ambang ini wajib dipatuhi produsen Air Minum Dalam Kemasan yang menggunakan polikarbonat sebagai kemasan galon guna ulang. Menurut Aisyah, rencana pelabelan risiko BPA juga berlatar hasil pengawasan yang menunjukkan migrasi BPA pada galon bermerek yang beredar di sejumlah kota.
"Datanya memang cenderung mengkhawatirkan, migrasi BPA ada di kisaran 0,06 ppm sampai 0,6 ppm dan bahkan ada yang di atas 0,6 ppm," katanya. BPOM sebagai otoritas pun telah berdiskusi dengan semua pihak selama proses penyusunan regulasi pelabelan risiko BPA. Aisyah menyebutkan bahwa terjadi diskusi intens yang melibatkan pelaku usaha air kemasan, baik yang skala mikro, kecil dan menengah, market leader serta asosiasi terkait. "Alhamdulillah Badan POM mendapat dukungan positif dari banyak kalangan, termasuk Komisi IX DPR," katanya.
Dengan adanya rancangan regulasi pelabelan galon ini, diharapkan kalangan produsen galon bermerek dapat terpicu untuk berinovasi dalam menghadirkan kemasan galon air minum yang lebih terjamin kualitas dan keamanannya. Ia juga menjelaskan bahwa penyusunan rancangan regulasi tersebut telah melalui semua tahapan perancangan regulasi, termasuk koordinasi dengan kementerian terkait, Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), kalangan akademisi dan ahli. "Di level kementerian, kami sudah menyepakati urgensi pelabelan ini sebagai bentuk tanggung jawab negara sekaligus untuk melindungi pelaku usaha, termasuk pemerintah, dari kemungkinan tuntutan hukum di masa datang," katanya mengisyaratkan kemungkinan munculnya gugatan publik bila risiko BPA tersebut tak disampaikan ke publik secara terbuka.
Artikel ini merupakan bagian dari KG Media. Ruang aktualisasi diri perempuan untuk mencapai mimpinya.